2 MERK SUPLEMEN TERCIDUK HARAM

2 Merk Suplemen Terciduk Haram,

Apa kabar konsumen?

 

Sahabat, akhir bulan pertama di tahun 2018 (baca: Januari) masyarakat Indonesia digemparkan tentang surat internal BPOM terkait hasil pengujian 2 merk suplemen makanan, yakni Enzyplex dan Viostin DS yang tersebar viral di dunia maya.

Kasus ini kian memanas karena ditemukannya unsur babi yang diharamkan dalam hukum Islam bagi umatnya. Terkait hal tersebut faktanya masyarakat Indonesia mayoritas muslim.

Enzyplex adalah obat lambung dan saluran cerna yang mengandung enzim-enzim perncernaan, multivitamin dan mineral untuk melancarkan pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh. Enzyplex digunakan untuk mengatasi kembung, perut terasa penuh dan begah, sering kentut, mual-mual, nyeri ulu hati, dan untuk melancarkan buang air besar. Bentuk sediaan Enzyplex adalah tablet.

Sedangkan, Viostin DS adalah suplemen makanan yang digunakan untuk meringankan osteoarthritis, rematik, dan gangguan pada persendian dan tulang rawan. Suplemen ini mengandung glucosamine, chondroitin sulfate, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Bentuk sediaan Viostin DS adalah kaplet.

Dalam tindakannya BPOM memberikan tenggang waktu sampai satu bulan untuk melakukan penarikan dari kedua produk tersebut dalam pasaran. Dan untuk masyarakat umum dihimbau bila masih menemukan 2 produk tersebut agar dapat melaporkan pada BPOM untuk dapat ditindak lanjuti.

Menanggapi kasus tersebut, berbagai pihak terkait pun angkat bicara. PT Pharos Indonesia (produsen Viostin DS) menerangkan telah menuruti arahan BPOM untuk menarik dan menghentikan produksi obat tersebut sejak adanya temuan indikasi kontaminasi ini pada akhir November 2017.

Dari hasil penelusuan, ternyata pihak perusahaan menemukan sumber kontaminasi berdasarkan dari Chondroitin Sulfat yang didatangkan dari luar negeri. Hal ini juga diperkuat dari penyataan MUI yang mengapresiasi tindakan PT. Pharos tersebut dan menyampaikan bahwa bentuk sediaan Enzyplex adalah tablet dan Viostin DS adalah kaplet. Viostin DS menggunakan bahan baku yang halal, namun beberapa produk kecolongan dengan bahan baku yang terkontaminasi, sehingga MUI menghimbau kepada masyarakat untuk tidak resah dan terlalu khawatir tentang kasus ini.

Pihak PT. Medifarma Laboratories (produsen produk Enzyplex) menanggapi bahwa NIE yang disebutkan dalam surat BPOM dan Press Release adalah NIE kemasan botol yang sudah tidak diproduksi sejak tahun 2013 dan yang beredar hanyalah kemasan catch cover, pihak produsen Enzyplex menambahkan kemasan yang saat ini beredar telah melalui uji laboratotium BPOM. Hal ini bertolak belakang dengan surat internal hasil pengujia BPOM yang menunjukan produk Enzyplex positif mengandung DNA Babi.

Kasus ini juga menuai tanggapan dari  masyarakat. Masyarakat banyak menyatakan kecewa dan mempertanyakan kinerja badan yang terkait, seperti MUI, BPOM, LPH sehingga dalam hal ini masyarakat merasa dirugikan. Padahal dengan jelas sudah diatur dalam UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Kehalalan Produk.

Apa yang sudah terjadi tidak dapat dikembalikan lagi, namun dapat kita perbaiki untuk sistem kinerja agar dapat melayani masyarakat umum dengan lebih baik lagi kedepannya.

Urgensi Rancangan Undang-Undang Kefarmasian

Urgensi Rancangan Undang-Undang Kefarmasian

Oleh: Fakhriah Hayati

DepT. Kajian Strategis BEMF Farmasi UAD

Badan Eksekutif Mahasiswa Farmasi UAD telah melakukan diskusi online terkait urgensi dari Rancangan Undang-Undang Kefarmasin  pada hari kamis , 30 november 2017 pukul 19.00 WIB. Forum diskusi ini dimoderatori oleh anggota Departemen Kajian Strategis BEM Farmasi UAD, Ria Putri Salma.

Pokok bahasan diskusi ini adalah mengenai urgensi dari adanya Rancangan Undang-Undang Kefarmasian dan poin-poin penting apa yang harus dimuat dalam RUU tersebut. Perlunya perlindungan terhadap profesi kefarmasian di bidang tenaga kesehatan menjadi salah satu latar belakang munculnya gagasan terbentuknya RUU ini.

Beberapa alasan yang diutarkan mengenai Urgensi pembentukan Undang-Undang ini adalah: Pertama, regulasi yang mengatur praktik kefarmasian yakni Peraturan Pemerintah nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinilai tidak saja harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan perubahan sosial, melainkan atas hukumnya masih menginduk pada Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, sementara undang-undang dimaksud sudah tidak berlaku dengan terbitnya Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kedua, implementasi ketentuan tentang praktik kefarmasian belum menjangkau persoalan-persoalan yang terjadi dimasyarakat.

Untuk menindak lanjuti hal tersebut, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan No.82/PUU-XIII/2015 mengenai kesepakatan untuk segera mempersiapkan Rumusan Rancangan Undang-Undang Farmasi, yang dijadwalkan selambat – lambatnya trimester pertama tahun 2017.

Sebagian peserta diskusi menganggap adanya rancangan undang-undang kefarmasian ini dinilai sangat penting mengingat tenaga kesehatan dibidang kefarmasian masih belum memiliki payung hukum yang kuat dan jelas mengenai posisi keprofesian apoteker dimasyarakat maupun terkait sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Sehingga dapat menjadi pondasi yang kuat dalam mengatur profesi apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya.

Namun sebagian lagi mengkhawatirkan apakah dengan adanya Undang-Udang Farmasi ditengah peliknya permasalahan kefarmasian saat ini akan mampu memperbaiki pelayanan kefarmasian seperti apoteker yang tidak berada diapotek, kasus penjualan antibiotik secara bebas dibeberapa daerah terpencil oleh apoteker, kasus obat dan resep palsu yang marak terjadi malah justru menjadi bomerang bagi apoteker itu sendiri karena belum siapnya profesi kita?

Jika melihat dari latar belakang munculnya usulan perumusan Undang-Undang Farmasi hal ini dirasa tidak perlu ditunda. Terkait ketidak siapan profesi apoteker yang saat ini sedang sangat memprihatinkan, justru dengan adanya undang-undang ini diharapkan akan mampu mendisiplinkan apoteker dan memperbaiki citra apoteker dimasyarakat. Jadi jika RUU ini ditunda dikhawatirkan hal-hal dan masalah yg menjadi latar belakang munculnya gagasan tersebut akan terus meningkat dan semakin buruk citra tenaga kefarmasian.

Sedangkan dari sisi poin-poin apa saja yang harus dimuat dalam rancangan undang-undang ini adalah diantaranya:

  1. Praktik pelayanan kefarmasian dan Sangsi bagi apoteker yg mangkir
  2. Pengaturan apotek online dan petunjuk mengenai pelayanan apoteker pelayanan di apotek online
  3. Aturan distribusi obat dan distribusi antibiotik
  4. Bidang pendidikan diantaranya mengenai
  • Acuan kurikulum yang sama bagi pendidikan apoteker di Indonesia
  • Standar kompetensi kefarmasian
  • Standar kelulusan apoteker
  • Transparansi UKAI dan
  • Mengatur mengenai pembukaan prodi farmasi baru

 

Harapannya dengan adanya Undang-Undang Kefarmasian bukan hanya sekedar untuk pemberian payung hukum, tetapi  juga untuk memberikan arahan, tata cara, serta pengelolaan yang menjadi dasar dan acuan untuk bidang farmasi dengan tegas serta menjadi dorongan bagi apoteker untuk melakukan praktek kefarmasian yang profesional dan bertanggung jawab. Tetapi jika belum dapat terealisasikan, diharapkan pelayanan kefarmasian juga terus ditingkatkan dan penekanan pada peran dan tugas apoteker senantiasa ditanamkan sehingga dapat menimbulkan jiwa profesional apoteker dan tetap berkomitmen pada sumpah walaupun belum terdapat Undang-Undang yang memayungi.

 

 

 

Evaluasi BPJS

Oleh: Fakhriah Hayati

Dept.Kajian Strategis dan Advokasi-BEMF Farmasi UAD

Salah satu hak mendasar warga negara yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah adalah
pelayanan kesehatan sebagimana telah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H
ayat 1 yang berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kini sudah lebih dari 3 tahun BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan berjalan lantas sudah sejauh
manakah perkembangan BPJS?.
Menurut Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Perpres No.12 Tahun
2013 Tentang Jaminan Kesehatan dalam pasal 1 ayat 14 menjelaskan bahwa fasilitas pelayanan
kesehatan ialah pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat. Dari uraian tersebut tersirat bahwa fasilitas
pelayanan kesehatan harus menjamin kesehatan dari pesertanya sendiri. Dan pada pasal 2 Ayat 1
menyebutkan manfaat pelayanan kesehatan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan
seperti penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi rutin, keluarga berencana dan skrining
kesehatan. Pada pasal 22 ayat 1 huruf a dan huruf b menjelaskan pelayanan kesehatan yang dijamin
adalah pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik dan
pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Berdasarkan peraturan presiden yang sama, ada dua kategori yang menjadi peserta JKN
kesehatan yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang artinya dibiayai negara, pesertanya adalah orang
yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu. peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) artinya
tidak ditanggung pemerintah atau membayar sendiri. Yang termasuk peserta bukan PBI adalah
pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, serta bukan pekerja dan anggota
keluarganya.
Melihat dari isi peraturan presiden tersebut dapat dikatakan dengan menjadi anggota BPJS
peserta memperoleh manfaat meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif meliputi
manfaat medis dan non medis. Manfaat non medis diantaranya akomodasi dan ambulan. Kelebihan
dari BPJS sendiri adalah peserta mendapat pengobatan yang efektif, aman dan dengan biaya yang
efektif. Mengapa disebut pengobatan yang efektif dan aman? Karena pengobatan pada BPJS
berdasarkan Formularium Nasional (Fornas) yang sudah disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir

oleh komite nasional penyusun Fornas. Obat yang masuk dalam daftar Fornas adalah obat yang
paling berkhasiat, aman, dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai
acuan untuk penulisan resep dalam sistem JKN. Sehingga pasien tidak perlu mengeluarkan biaya
yang mahal untuk pengobatan yang sebenarnya dapat diperoleh dengan khasiat dan keamanan yang
terjamin.
Akan tetapi pelayanan BPJS dapat kita rasakan dengan ketentuan harus dimulai dari
pelayanan primer dulu jika pelayanan primer tidak mampu baru dirujuk ke pelayanan lanjutan
kecuali untuk kasus gawat darurat, hal ini bagi sebagian besar masyarkat dirasa merepotkan namun
sistem ini dinilai paling ideal untuk pemerataan pengobatan disemua fasilitas pelayanan kesehatan
agar pengobatan lebih terarah dan sistematis yang nantinya juga akan memudahkan masyarakat
sendiri. Yang menjadi permasalahan berikutnya adalah Fornas hanya sebagai acuan dalam
melaksanakan BPJS, tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan bisa menyediakan obat yang ada di
dalam Fornas karena hal tersebut masih tergantung kesanggupan dari fasilitas pelayanan kesehatan
sendiri. Dan tidak semua obat dicover oleh BPJS masih ada obat-obat tertentu yang harus dibayar
sendiri oleh pasien. Masalah berikutnya adalah ketersediaan obat masih dipengaruhi oleh hari libur
dan jadwal tutup akhir tahun perusahaan obat maupun distributor, dimana pada bulan desember
biasanya perusahaan obat memiliki jadwal tutup akhir tahun dan masih terpengaruh oleh libur natal
dan tahun baru, dimana saat itu terjadi perusahaan obat tidak menerima transaksi pembelian obat
sehingga mengakibatkan terjadi kekosongan obat di fasilitas pelayan kesehatan. Yang menjadi
keluhan masyarakat kemudian adalah sistem antrian yang sangat panjang pada pelayanan kesehatan
dan tidak adanya fasilitas tunggu yang nyaman bagi pasien sendiri yang harus ikut mengantri. Meski
demikian sebagian besar masyarakat berpendapat cukup merasakan manfaat dengan menjadi
peserta BPJS.
Hal-hal tersebut merupakan sebagian evaluasi untuk sistem BPJS, hal ini mungkin dapat
segera dibenahi baik dari BPJS sendiri maupun dari fasilitas pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan BPJS kedepannya sembari mempersiapkan seluruh warga negara
Indonesia menjadi peserta BPJS yang ditargetnya paling lambat tercapai pada 1 januari 2019 agar
cita-cita terwujudnya Indonesia sehat juga diiringi dengan fasilitas dan layanan yang memuaskan.

Sudah Siapkah Kita Menuju UKAI dan OSCE?

Oleh: Fakhriah Hayati
Dept.Kajian Strategis dan Advokasi-BEMF Farmasi UAD

Beberapa tahun lalu dunia farmasi sempat digegerkan dengan wacana akan diadakannya Uji Kompetensi Apoteker Indonesia atau yang sering disebut UKAI untuk calon lulusan profesi Apoteker. Yang mana artinya untuk dapat lulus dari profesi Apoteker dan disumpah calon Apoteker harus melalui ujian bersama se-Indonesia terlebih dulu, bisa diibaratkan ini merupakan Ujian Nasionalnya calon Apoteker. Hal ini dilakukan salah satu alasannya untuk mengatasi keberagaman kurikulum tiap universitas yang memiliki profesi Apoteker di Indonesia, hal ini dimaksudkan sebagai sebuah parameter bahwa lulusan Apoteker dari manapun memiliki kualitas yang sama dan layak menjadi Apoteker, sehingga tidak ada lagi klaim bahwa Apoteker lulusan universitas A lebih baik dari universitas B. Karena pada ujian ini merupakan pengetahuan paling dasar atau minimal yang seorang Apoteker wajib miliki, sehingga apabila telah lulus dari ujian ini maka Apoteker tersebut dapat dikatakan sudah layak untuk terjun ke masyarakat dan mengejawantahkan ilmunya. Selang beberapa tahun setelah UKAI berjalan dunia kefarmasian kembali dihebohkan dengan wacana akan diadakannya UKAI dan OSCE sebagai ujian akhir keprofesian farmasi. Lantas sudah siapkan kita menuju UKAI dan OSCE?
OSCE atau Objective Structured Clinical Examination sendiri lebih dikenal sebagai suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara obyektif dan terstruktur dalam bentuk putaran station dalam waktu tertentu, biasanya tiap station menggunakan waktu 5 hingga 15 menit. Dikatakan obyektif karena semua mahasiswa diuji dengan ujian yang sama. Terstruktur karena yang diuji keterampilan klinik tertentu dengan menggunakan lembar penilaian tertentu. Tujuannya adalah untuk menilai kompetensi dan keterampilan klinis mahasiswa secara obyektif dan terstruktur. Sistem ujian ini sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan oleh rekan profesi sejawat kita yaitu mahasiswa kedokteran sebagai salah satu syarat untuk menjadi Dokter. Calon Dokter harus mengikuti Computer Based Test (CBT) dan OSCE sendiri. Sistem ini kemudian diadopsi oleh kefarmasian untuk calon-calon Apoteker dengan tujuan semakin meningkatkan kompetensi Apoteker tidak hanya dari segi pengetahuan namun juga dari segi skill dan profesionalisme.
Namun bidang kefarmasian seperti yang semua mahasiswa farmasi tau sangat luas tidak hanya tentang klinis namun juga tentang distribusi dan industri. Sebagian besar universitas di Indonesia membagi konsen farmasi menjadi beberapa bidang yang umumnya meliputi bidang Klinik dan Komunitas serta Sains dan Bahan Alam. Namun OSCE dikenal sebagai uji kompetensi dalam bidang klinik, lantas apakah mahasiswa yang memilih konsen Farmasi Sains dan Bahan Alam harus banting setir ikut mempelajari seluruh bidang klinik agar dapat lulus UKAI dan OSCE?. Tentu sebagai calon Apoteker teman-teman banyak mempertanyakan hal ini karena melihat dari soal-soal UKAI tahun 2016 dan 2017 lebih berat ke bidang klinik hingga muncul istilah “ Apoteker rasa Dokter”. Tapi kita mahasiswa farmasi sebagai calon Apoteker terutama yang memilih konsen Sains dan Bahan Alam tidak perlu berkecil hati, karena hasil evaluasi UKAI tahun 2016 dan 2017 memutuskan untuk UKAI tahun selanjutnya komposisi soal akan lebih berimbang baik dalam bidang klinik, industri dan distribusi. Berbeda dengan OSCE pada mahasiswa kedokteran yang hanya fokus pada bidang klinik, tentunya kita farmasi tidak bisa hanya berfokus pada satu bidang klinik karena kompetensi keprofesian Apoteker sangat luas dan tidak hanya bekerja di unit pelayanan namun juga berkerja di unit industri dan distribusi. Sehingga pada ujian OSCE untuk profesi Apoteker akan mencakup semua bidang yaitu klinik, industri dan distribusi. Meskipun dalam OSCE komposisi klinik masih sedikit lebih banyak, dimana akan ada 10 station yang terdiri dari 4 station bidang klinik, 3 station bidang industri dan 2 station bidang distribusi. Masih ada 1 station yang nantikan menjadi station istirahat. Dan untuk CBT ketiga bidang tersebut akan mendapat porsi yang sama banyak. Dengan demikian kedepannya Uji Kompetensi Apoteker Indonesia akan lebih menjadi “rasa Apoteker” tidak lagi “Apoteker rasa Dokter”.
Oleh sebab itu kita mahasiwa farmasi para calon Apoteker meskipun sudah memilih konsen tertentu dalam bidang farmasi kita juga tetap harus melek terhadap konsen yang lainnya. Karena pada dasarnya semua pengetahuan dasar baik dalam bidang klinik, industri dan distribusi sudah diberikan sebelum mahasiswa memilih konsen tertentu. sehingga sebagai calon Apoteker yang profesional dan kompeten kita harus menguasai pengetahuan dan skill mendasar dari semua bidang kefarmasian, semua ini dilakukan untuk mewujudkan cita-cita bersama kita menuju “Terwujudnya Profesi Apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia” sesuai dengan visi besar IAI.

TATAP: Tiada Apoteker Tiada Pelayanan?

TATAP: Tiada Apoteker Tiada Pelayanan?
Oleh: Fakhriah Hayati
Dept.Kajian Strategis dan Advokasi-BEMF Farmasi UAD

Tiada Apotek Tiada Pelayanan alias TATAP adalah suatu gerakan yang dikeluarkan ISFI sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat dan agar profesi apoteker menjadi familiar di masyarakat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu apakah tujuan baik TATAP ini masih dijalankan kah oleh tenaga kefarmasian? Atau hanya sebagai sebuah “slogan” saja? Jika kita kembali ke setahun yang lalu tepatnya tahun 2016, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yaitu, Permenkes No.31 tahun 2016 atas perubahan Permenkes No. 889 tahun 2011 terkait perubahan Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Pada pasal 18 menyebutkan bila apoteker yang berkerja di unit pelayanan (seperti rumah sakit, puskermas, dan apotek) dapat memiliki sampai 3 SIPA kecuali apoteker yang berkerja pada unit kefarmasian hanya dapat memiliki 1 SIPA. Dan apoteker yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek), boleh memiliki paling banyak 2 SIPA di fasilitas pelayanan kefarmasian lain.
Lantas apa hubungannya peraturan baru ini dengan kebijakan TATAP? Seperti yang kita tahu gerakan TATAP menerapkan aturan apotek hanya dapat memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di tempat dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Tetapi dengan adanya peraturan 3 SIPA akankah TATAP masih ideal untuk diterapkan? Disisi lain apoteker bisa memiliki sampai 3 SIPA, tetapi juga diharuskan untuk selalu berada di apotek selama apotek tersebut buka. Padahal pada kenyataannya apoteker yang memiliki 1 SIPA saja masih bisa mangkir dari kewajibannya apalagi jika mendapatakan 3 SIPA. Sebagian orang berpikir seakan-akan adanya peraturan baru ini, hanya akan menjadi lahan terjadinya kecurangan dan bumerang bagi profesi apoteker sendiri.
Selain itu, walau TATAP sudah digalakkan beberapa tahun yang lalu tepatnya tahun 2009. Akan tetapi tidak ada peraturan standar dari TATAP sendiri. Bahkan poin penting seperti sanksi yang akan didapat apoteker jika tidak menerapkan TATAP pun masih belum jelas seperti apa. Seakan-akan TATAP hanyalah sebuah kemasan yang tidak disertai label. Masih belum jelas arah dari prinsip ini akan terbawa.
Namun jika kita runut kembali sebenarnya sudah banyak peraturan yang mengharuskan apoteker berada ditempat selama jam pelayanan baik dalam PP No.51 tahun 2009 maupun kepmenkes No. 1027 tahun 2004 mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih banyak apoteker yang mangkir dari kewajibannya karena peraturan-peraturan tersebut juga tidak memberikan sangsi yang jelas dan lebih-lebih konsep pharmaceutical care yang menjadi tugas pokok apoteker untuk masyarakat mulai pudar. Seharusnya dengan adanya gerakan TATAP dan peraturan 3 SIPA dapat berjalan beriringan dan semakin meningkatkan awareness masyarakat terhadap profesi apoteker, karena perlu kita ingat izin 3 SIPA tidak diberikan secara sembarangan dan mudah. Untuk mendapatkan 3 SIPA seorang apoteker harus memiliki rekomendasi dari IAI dan kedepannya apoteker tersebut akan dipertimbangkan apakah benar-benar mampu dan pantas untuk mendapatkan izin 3 SIPA. Setelah mendapatkan izin 3 SIPA pun apoteker memiliki kewajiban memasang papan nama praktek yang mencantumkan nama apoteker, SIPA/SIA dan waktu praktik (hari/jam). ditambah dengan ketentuan fasilitas pelayanan kefarmasian hanya dapat memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di tempat dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Semua itu sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.31 tahun 2016 yang artinya permenkes tersebut dapat berjalan beriringan dengan gerakan TATAP.
Profesi apoteker sendiri juga memiliki majelis etik dan disiplin apoteker indonesia (MEDAI) yang betugas membina, mengawasi dan menilai pelaksanaan kode etik apoteker indonesia untuk selanjutnya memberikan putusan terkait permasalahan etik dan disiplin apoteker oleh anggota yang akan ditindak lanjuti oleh ketua ikatan sesuai AD-ART.
TATAP merupakan gerakan yang sangat menarik bahkan sangat bisa dibanggakan jika dijalankan sebagaimana mestinya. Untuk semakin meningkatkan disiplin akan gerakan TATAP ini maka akan lebih baik jika gerakan ini diperkuat dengan peraturan yang jelas dan mengikat agar tidak ada celah untuk apoteker mangkir dari tugasnya. Dan tak lupa branding apoteker tetap menjadi highlight untuk dilakukan disamping gerakan TATAP itu sendiri, dimana salah satu hal yang dapat dilakukan adalah saat apoteker bekerja di pelayanan dapat memakai jas apoteker sebagai identitas diri di lingkungan pekerjaan. Dengan demikian masyarakat akan mulai mencari tau siapa yang melayaninya di apotek?, apa profesi apoteker itu?, dan bagaimana seharusnya tugas apoteker?. Hal ini akan memberikan keuntungan ganda, karena jika masyarakat tau mereka akan semakin kritis dalam menerima pelayanan diapotek dan ini dapat berfungsi sebagai pengawas bagi kinerja apoteker secara tidak langsung. Sehingga gerakan TATAP tidak hanya menjadi slogan saja namun sesuatu yang dapat menjadi ciri khas keprofesian kita dan mampu kita banggakan.