3 SIPA: Solusi konkritkah atas ketidakhadiran Apoteker di Apotek?

hasil-kajian-kastrad-farmasi-uad-01

3 SIPA: solusi konkritkah atas ketidakhadiran Apoteker di Apotek?

 

Oleh: Fakhriah Hayati

Dept. Kajian Strategis dan Advokasi BEMF Farmasi UAD

 

Baru-baru ini santer terdengar perdebatan mengenai Peraturan Menteri Kesehatan No.31 tahun 2016  atas perubahan Permenkes No. 889 tahun 2011 terkait perubahan Registrasi,   Izin Praktek, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Yang ramai diperdebatakan adalah mengenai pasal 18 yang menyatakan apoteker yang berkerja di unit pelayanan (seperti rumah sakit, puskermas, dan apotek) dapat memiliki sampai 3 SIPA kecuali apoteker yang berkerja pada unit kefarmasian hanya dapat memiliki 1 SIPA. Dan apoteker yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek), boleh memiliki paling banyak 2 SIPA di fasilitas pelayanan kefarmasian lain.

Setiap regulasi yang baru dibuat tentunya akan menuai pro dan kontra, apalagi kebijakan yang memang belum disosialisasikan secara resmi, yang akhirnya menimbulkan berbagai persepsi. Resiko yang mungkin timbul dari kebijakan ini diantaranya, semakin meningkatnya ketidak hadiran apoteker di apotek karena terlalu padatnya jam kerja,  dikhawatirkan pula dengan 3 SIPA ini justru apoteker menjadi lebih money oriented daripada patient oriented. Jika ini terjadi tentunya akan semakin memperburuk citra apoteker karena image apoteker di negeri tercinta ini bisa dikatakan tenggelam. Hal ini disebabkan ketidak hadiran apoteker di apotek dan kebermanfaatan dari apoteker sendiri sampai hari ini yang dirasa masyarakat hampir tidak ada. Ada juga  yang berpendapat Permenkes yang  memberikan peluang bagi apoteker di unit pelayanan memiliki hingga 3 SIPA seolah-olah menciptakan kesenjangan terhadap apoteker di unit kefarmasian. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah karena seperti yang kita tahu gaji dan jam kerja apoteker di unit kefarmasian (seperti industri dan distribusi) lebih banyak daripada apoteker di unit pelayanan, hal ini justru akan memberikan peluang bagi apoteker disarana pelayanan untuk meningkatkan pendapatannya. Tentunya dengan segala konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan.

Jika menilik kembali tujuan dari dibuatnya Permenkes ini adalah untuk mengakomodir kurangnya apoteker di sejumlah sarana kesehatan di beberapa daerah karena penyebaran apoteker yang tidak merata, tentunya  tujuan dari peraturan ini sudah mulia. Namun, dilain sisi banyak pula yang berpendapat bahwa profesi kita tidaklah kekurangan apoteker namun apotekernyalah yang tidak tampil kemasyarakat untuk melakukan tugas keprofesiannya. Jika dilihat dari sisi pendidikan, kurikulum antar universitas yang akan melahirkan bibit-bibit apoteker pun masih belum sama. Sehingga hal ini memiliki kemungkinan menjadi salah satu penyebab kurang kompetennya lulusan apoteker yang ada, karena belum satu suara dalam memegang peranan sebagai apoteker yang bermatarbat. Oleh karenanya penyamarataan kurikulum pendidikan farmasi diseluruh Indonesia dirasa sangat penting untuk menyamakan prinsip dasar mengenai tugas keprofesian kita dan kualitas lulusan. Selain menerapkan 3 SIPA dalam mengatasi penyebaran apoteker yang tidak merata sebenarnya pemerintah dapat mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi dibidang kefarmasian yang dibiayai oleh pemerintah dimana lulusannya harus bersedia ditempatkan di daerah mana saja diseluruh Indonesia, seperti Lembaga Pendidikan Tinggi Pemerintah lainnya.

Jika kita berpikiran positif dengan adanya peraturan ini masalah atas ketidak hadiran apoteker di apotek karena kurangnya jumlah apoteker mungkin dapat teratasi. Karena apoteker yg memegang 3 SIPA dapat saling membagi waktu kerjanya dimana apoteker tersebut menjadi apoteker penanggung jawab disalah satu apotek, dan untuk 2 SIPA lainnya hanya dapat menjadi apoteker pendamping di apotek berbeda. Sehingga akan terbentuk circle pelayanan yg dinamis dimana setelah apoteker penanggung jawab melakukan pelayanan, dilanjutkan apoteker pendampingnya dengan pembagian jam kerja yang jelas. Dengan 3SIPA diharapkan jargon IAI “TANPA APOTEKER TIDAK ADA PELAYANAN (TATAP)” dapat terlaksana dan peran dan kehadiran apoteker lebih dirasakan oleh masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan apakah Permenkes ini akan menjadi solusi konkrit atas ketidak hadiran apoteker disarana pelayanan?. Yang perlu diperhatikan dari adanya Permenkes ini adalah tingkat kesuksesan dan tolak ukurnya. Apakah tujuan awal dari peraturan ini sudah terwujud, ataukah justru lebih banyak menimbulkan apoteker yang money-oriented?. Karena peraturan ini sudah disahkan maka untuk menolak dan mengubahnya pun bukan merupakan suatu solusi nyata. Setiap peraturan tentunya perlu dikawal penyelenggaraannya agar hal yang dicita-citakan dapat tercapai. Hal yang dapat kita lakukan untuk mengawal peraturan ini agar selaras dengan tujuannya. dapat dari berbagai sisi diantaranya:

Dari sisi pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap berjalannya 3 SIPA. BPOM dapat berperan meningkatkan frekuensi pengawasan dengan sering melakukan sidak ke apotek-apotek. Selain pengawasan, IAI selaku organisasi profesi hendaknya segera melakukan sosialisasi mengenai Permenkes ini dan juga selektif dalam memberikan surat rekomendasi untuk apoteker kepada pemerintah daerah,  menetapkan pengaturan jam layanan dengan mewajibkan apotek mencantumkan pembagian jam kerja Apoteker di Apotek, serta menetapkan lokasi 3 SIPA dengan menentukan jarak maksimal antar tempat praktek apoteker yang diperbolehkan. Jarak ini berfungsi untuk menghindari apoteker yang TEKAB. Ismafarsi sebagai organisasi advokasi juga dapat berperan terus mengingatkan pemerintah terkait pengawasan dan sidak ini. disisi lain penyusunan Rancangan Undang-Undang Kefarmasian juga dirasakan sangat penting untuk melindungi dan memperkuat posisi profesi kita.

dari sisi masyarakat tentunya yang tidak kalah penting yang harus kita lakukan adalah pencerdasan kepada masyarakat itu sendiri, bagaimana menanamkan kepada masyarakat untuk tanggap terhadap “Tanpa Apoteker Tidak Ada Pelayanan”.

Pribadi apoteker sendiri juga harus mulai mawas diri untuk lebih sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai apoteker dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, jika hal ini terlaksana apoteker akan lebih dikenal masyarakat dan masyarakat pun juga mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan pelayanan yang memadai langsung dari apoteker. sehingga tercapainya  Pharmaceutical Care yang tentunya juga akan meningkatkan citra profesi Apoteker.